Tentang Pengampunan

HandsForgiveness_1920x1080Akhirnya ngeblog lagi! Hehehe

Tidak terasa sudah empat bulan lebih saya tidak menengok blog ini. Maklum saja, fokus pada penyelesaian tesis menyita banyak waktu saya. Di samping itu, kesibukan pelayanan dan pengerjaan beberapa artikel juga sangat menghabiskan waktu dan energi. Nah, sekarang ini waktu saya sudah lebih longgar, sebab kewajiban utama saya (baca: tesis) sudah hampir selesai. Karena itu, kali ini saya ingin membagikan pergumulan yang saya alami beberapa bulan lalu.

**********

Mungkin ada baiknya saya menarik kisah ini mundur, mulai dari apa yang terjadi di bulan April. Di bulan itu, saya harus menyerahkan tiga buah tugas kuliah. Tugas pertama ialah tugas untuk mata kuliah Intertekstualitas Alkitab, tugas kedua untuk mata kuliah Humor di Kitab-Kitab Injil, dan tugas ketiga ialah proposal tesis saya. Yang menarik, tanpa saya sadari, hampir semua tugas tersebut membahas Injil Matius. Untuk tugas mata kuliah Interkstualitas, saya mengevaluasi eksistensi motif Mosaic di dalam Kisah Kelahiran Yesus (kemungkinan besar tulisan ini akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia tahun depan); untuk proposal tesis, saya memutuskan untuk mencoba meneliti aspek humor Yesus di dalam salah satu bagian Kotbah di Bukit. Nah, yang ingin saya ceritakan dalam post ini ialah pergumulan saya dengan tugas mata kuliah Humor.

Untuk tugas mata kuliah tersebut, saya memilih membahas aspek humor di dalam Perumpamaan tentang Pengampunan (Matius 18:21-35). Saya rasa kita semua sangat mengenal kisah ini dengan baik. Meski demikian, ijinkan saya sedikit membahas teks tersebut. Dikisahkan bahwa suatu hari, Petrus bertanya kepada Tuhan Yesus tentang berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang bersalah kepadanya. Uniknya, Petrus kemudian menyodorkan sebuah angka, yakni tujuh kali! (ayat 21). Para sarjana Perjanjian Baru biasanya merujuk pada sebuah tulisan Yahudi dari  masa yang lebih kemudian, yakni b.Yoma 86b. Di dalam tulisan tersebut dikatakan demikian: “Jika seorang melakukan pelanggaran, untuk kali pertama, kedua, dan ketiga, dia diampuni, (tetapi) untuk kali keempat, dia tidak diampuni” (terjemahan saya).

Karena tulisan ini berasal dari masa yang jauh lebih kemudian, maka agak susah dipastikan apakah memang pernyataan tadi mencerminkan keyakinan pada masa Yesus. Dalam hal ini, kita harus berhati-hati dengan bahaya anakronisme, yakni memasukkan ide dari masa yang lebih kemudian ke dalam karya yang lebih tua. Akan tetapi, bila memang keyakinan tersebut juga mencerminkan keyakinan orang Yahudi abad pertama – seperti yang nampak diyakini banyak penafsir – maka Petrus sebenarnya sudah menyodorkan angka yang cukup fantastis. Dia memberikan jumlah yang melebihi tuntutan mayoritas rabbi. Para rabbi hanya mengizinkan kita mengampuni tiga kali, Petrus menaikkan nilai itu menjadi tujuh!

Apa yang menarik ialah bahwa Yesus tidak terkesan dengan angka tersebut. Yesus tidak menyetujui angka tersebut, melainkan memberikan nilai yang lebih tinggi, tujuh puluh kali tujuh kali (ayat 22). Frase “tujuh puluh kali tujuh kali” sebenarnya lebih tepat diterjemahkan tujuh puluh tujuh kali, sebab kata ini muncul di Kejadian 4:24 dengan arti demikian. Meski begitu, apa yang Yesus tekankan bukan penafsiran literal. Kemungkinan angka “tujuh puluh tujuh” ini dipengaruhi numerologi Yahudi yang menggambarkan kesempurnaan (tujuh) dan kegenapan (sepuluh). Dengan kata lain, Yesus menekankan sebuah kualitas pengampunan yang genap dan sempurna, bukan yang dibatasi oleh kuantitas. Bila kita memahami bahwa ini yang Tuhan mau – kualitas pengampunan –, maka pertanyaan mengenai kuantitas pengampunan akan dengan sendirinya menjadi tidak relevan.

**********

Di dalam perumpamaan selanjutnya, Tuhan memberi beberapa alasan mengapa kita harus mengampuni. Dalam tulisan ini, ijinkan saya berfokus hanya pada satu alasan saja, yakni karena Tuhan telah memberi pengampunan yang besar kepada kita. Yesus mengisahkan ada seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba-Nya. Di antara para hamba itu, ada seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta (ayat 23-24). Nilai hutang ini sebenarnya sangat sensasional, sebab angka sepuluh ribu merupakan angka terbesar dalam perhitungan orang kuno, sama seperti trilyun atau bilyun untuk kita hari ini. Tetapi, bukan hanya nilainya yang sangat besar, satuan hutangnya pun juga yang paling besar, talenta! Seorang teolog mengatakan hutang orang ini mungkin setara dengan zillionan dollar hari ini! Saya sih lebih suka menyamakannya dengan angka terbesar sewaktu saya kecil, “sakjuta ewu ewu ewu ewu ewu … ewu eket” hehehe.

Dalam nilai hutang ini, sebenarnya terkandung unsur humor dalam bentuk “exaggeration” (baca: lebay hehehe), karena nilainya yang bisa dikatakan “tidak terbatas.” Saya rasa belum pernah ada orang yang sedemikian bodoh, hingga berhutang dengan jumlah sedemikian tidak terbatas. Seorang sarjana, Craig Keener, juga setuju bahwa dalam jumlah hutang ini terkandung unsur komedi. Hanya saja dia berpendapat bahwa unsur exaggerationnya disebabkan karena pada zaman itu jumlah uang yang beredar di Galilea dan Perea hanya sekitar dua ratus talenta. Saya sangat tidak yakin apakah memang pendengar Yesus dan pembaca Matius mengerti bahwa jumlah uang yang beredar pada masa itu hanya sekitar dua ratus talenta. Meski demikian, setidaknya saya dan Keener sependapat bahwa jumlah hutang ini sangat lebay.

Beberapa sarjana memang mencoba merasionalisasikan jumlah hutang ini. Ada yang berpendapat bahwa hamba ini mungkin seorang penagih pajak atau gubernur wilayah yang tidak mampu memenuhi janji pajaknya kepada si raja, ada pula yang menganggap bahwa Yesus sebenarnya menggunakan satuan yang lebih kecil. Akan tetapi, saya menilai upaya ini mengabaikan poin yang hendak disampaikan oleh Yesus. Lebih lagi, Donald Hagner mengingatkan bahwa perumpamaan memang kerap menggunakan bahasa hiperbola dan tidak ada alasan untuk mengaitkan tiap poinnya dengan realitas historis.

Kembali ke kisah tadi. Karena hutang si hamba ini tidak terbatas, maka otomatis hutangnya tidak mungkin terbayar. Di ayat 25, si Raja memerintahkan agar si hamba ini beserta keluarga dan semua miliknya dijual untuk membayar hutang tersebut. Apa yang menarik ialah sikap si hamba ini kemudian. Dia bersujud dan memohon pada si Raja agar memberi tambahan waktu untuk membayar hutangnya. Bentuk kata kerja yang digunakan (imperfek indikatif) nampak menyiratkan bahwa si hamba ini terus menerus mendesak dan memohon kepada si Raja.

Apa yang hamba ini minta sebenarnya konyol dan memicu tawa bagi pendengar Yesus, sebab tambahan waktu tidak akan berpengaruh apapun bagi dia. Ulrich Luz, seorang sarjana dari Jerman, mengatakan: “tambahan waktu mungkin membuat dia bisa membayar sebagian kecil hutangnya, tetapi ketika dia mengatakan bahwa dia akan membayar semua hutangnya, itu hanya menunjukkan ironi keputusasaannya yang patut ditertawakan.”

Luar biasanya, si Raja tidak “mengabulkan” permintaan tersebut. Dia tidak memberikan tambahan waktu, tetapi malah menghapuskan hutang si hamba tersebut. Apa yang hendak disampaikan bagian pertama perumpamaan ini ialah bahwa sama seperti si Raja sudah mengampuni hutang si hamba yang sangat besar itu, demikian pun Tuhan sudah mengampuni kesalahan kita yang juga tidak terbatas itu. Karena itu, sudah sepatutnya kita mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita, mengingat kesalahan orang lain kepada kita tidak sebesar kesalahan kita kepada Tuhan. Kalau Tuhan saja mau mengampuni kesalahan kita yang besar, kenapa kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain yang jauh lebih “kecil”? Nah, bagian ini nampaknya menjadi jalan Tuhan mempersiapkan saya untuk sebuah ujian praktik pengampunan beberapa bulan kemudian.

**********

Harus saya akui bahwa selama sembilan tahun terakhir hubungan saya dengan salah seorang kerabat saya tidak terlalu baik. Awalnya, saya sangat mengagumi beliau, namun seiring dengan berjalannya waktu relasi kami jadi tidak terlalu dekat. Kekaguman saya berubah menjadi kemarahan ketika suatu saat kerabat saya ini mengatakan sesuatu yang sangat menyinggung keluarga saya. Saya sangat tidak terima dengan apa yang beliau ucapkan dan menjadi marah terhadap beliau. Tentu saja, ini tidak berarti saya lantas memaki dan memukulinya. Yang saya lakukan, saya sebisa mungkin menghindari beliau ketika ada acara-acara yang mengharuskan kami bertemu. Kalau pun bicara, saya hanya menjawab satu dua kata saja.

Istri saya memahami dengan baik pergumulan saya ini. Dia tahu bahwa saya paling susah mengampuni seseorang ketika orang itu menyakiti orang-orang yang saya kasihi, termasuk keluarga saya. Ya, saya lebih mungkin mengampuni orang yang menyakiti saya daripada orang yang menyakiti keluarga saya. Namun, Tuhan nampaknya tidak peduli dengan hal ini. Dia terus “masukkan” saya ke dalam situasi-situasi yang menantang saya hehehe.

Ujian terakhir terjadi beberapa bulan yang lalu. Koko saya memberitahu saya bahwa kerabat saya ini sakit keras dan ada dalam keadaan kritis. Waktu itu, Tuhan mendorong saya untuk datang dan mendoakan beliau. Hanya saja, rasa marah yang besar masih menghalangi saya untuk datang. Tetapi, setelah bergumul sekian lama, Tuhan mengingatkan saya akan nas Matius tadi: kalau Tuhan sudah mengampuni kesalahan saya yang terlalu besar, kenapa sulit bagi saya untuk mengampuni kesalahan kerabat saya yang jauh lebih “kecil”? Singkat cerita, saya akhirnya mengunjungi kerabat saya itu dan mendoakan beliau; dan percayalah, saya mendoakan yang baik, bukan mendoakan yang bukan-bukan hehehe.

Ketika saya pulang dari mengunjungi beliau, saya merasa ada beban yang terlepas. Seperti ada sesuatu yang berat yang Tuhan angkat dari diri saya. Ya, memang awalnya sangat berat untuk dilakukan tetapi pada akhirnya sangat melegakan. Beberapa minggu kemudian saya sempat dikagetkan karena seorang kenalan memberitahu saya bahwa ada seseorang yang memfitnah saya habis-habisan. Namun, pengalaman tadi nampaknya membuat saya lebih tenang. Saya tidak marah terhadap si pemfitnah itu. Saya tahu bahwa apa yang saya lakukan terhadap Tuhan jauh lebih menjijikkan daripada apa yang ia lakukan kepada saya. Kalau Tuhan mau mengampuni saya, kenapa saya tidak mau mengampuni dia?

Rekan sekalian, mengampuni itu memang menyakitkan, tapi menyembuhkan

Mengampuni itu memang menyesakkan dada, tapi melegakan jiwa

Mengampuni itu memang menghancurkan ego, tapi memulihkan relasi

Mengampuni itu memang merendahkan si aku, tapi meninggikan Dia

Kiranya Tuhan menolong! 🙂

Leave a comment